“Disiplin dalam keluarga sebenarnya adalah pendidikan. Mendisiplinkan anak tidak identik dengan menghukum atau mengatur, namun lebih pada mengajarkan dan mendidik anak untuk berperilaku dan menerapkan nilai-nilai moral.
Sebagai bagian dari pendidikan dalam disiplin, masalah keteladanan sangat penting. Anak akan meniru apa yang dilakukan orang tua. Disiplin yang efektif menghemat kata-kata dan energi. Tanpa teriakan, nada tinggi, pukulan dan cubitan.
Sebagai bagian dari pendidikan dalam disiplin, masalah keteladanan sangat penting. Anak akan meniru apa yang dilakukan orang tua. Disiplin yang efektif menghemat kata-kata dan energi. Tanpa teriakan, nada tinggi, pukulan dan cubitan.
Begitu pula sejak balita, anak-anak tidak akan mengerti jika hanya disodorkan peraturan. Tidak boleh ini-itu, harus begini-begitu. Maka yang terjadi bahwa peraturan tinggal peraturan. Tidak pernah dipatuhi. Kuncinya adalah dengan menunjukkan kepada anak bagaimana ia harus berperilaku. Memberi contoh nyata.
Beberapa hal yang perlu dilakukan orang tua adalah :
Beberapa hal yang perlu dilakukan orang tua adalah :
1. Memastikan bahwa perbuatan baik mendapatkan hadiah sedangkan perbuatan buruk tidak mendapat apa-apa.
Kedengarannya mudah dan biasa. Kita sering kali merasa malu dan terganggu ketika anak merengek-rengek meminta permen saat kita belanja. Dengan terpaksa kita mengabulkan permintaan anak. Padahal dari peristiwa ini anak belajar bahwa jika ia merengek pada saat berbelanja maka ia akan mendapatkan hadiah, sementara jika ia bertingkah manis ia tidak mendapat apa-apa. Begitu juga saat anak melakukan atau mengatakan sesuatu hal yang buruk. Para orang dewasa malah menjadikan anak sebagai pusat perhatian dan hiburan. Sehingga anak merasa bahwa jika ia melakukan hal yang sama maka ia akan merebut perhatian orang dewasa.
Kedengarannya mudah dan biasa. Kita sering kali merasa malu dan terganggu ketika anak merengek-rengek meminta permen saat kita belanja. Dengan terpaksa kita mengabulkan permintaan anak. Padahal dari peristiwa ini anak belajar bahwa jika ia merengek pada saat berbelanja maka ia akan mendapatkan hadiah, sementara jika ia bertingkah manis ia tidak mendapat apa-apa. Begitu juga saat anak melakukan atau mengatakan sesuatu hal yang buruk. Para orang dewasa malah menjadikan anak sebagai pusat perhatian dan hiburan. Sehingga anak merasa bahwa jika ia melakukan hal yang sama maka ia akan merebut perhatian orang dewasa.
2. Berhemat dengan kata larangan
Jangan terlalu banyak menggunakan kata "tidak" dan "jangan". Berhematlah dengan kata "tidak" dan "jangan".
Jangan terlalu banyak menggunakan kata "tidak" dan "jangan". Berhematlah dengan kata "tidak" dan "jangan".
Usahakan agar kata ini hanya digunakan untuk hal-hal yang penting, darurat, dan tidak boleh ditafsirkan lain. Pada dasarnya anak menyukai aktifitas. Anak-anak tidak suka dan tidak bisa diam. Anak akan merasa lebih tertantang dengan kalimat "Coba, Ibu ingin lihat, Umair bisa nggak memarkir sepeda di samping motor ayah?" dibandingkan dengan "Umair, jangan memarkir sepedamu sembarangan, dong!" Umair tidak suka dilarang melakukan sesuatu dan tidak mengerti maksud dengan "parkir sembarangan". Gunakan kata tidak dan jangan untuk misalnya, "Umair tidak boleh main pisau, ya!"
3. Jelas
Jangan memberikan aturan yang abstrak dan tidak dimengerti anak. Kalimat, "Jangan nakal!" terdengar sangat abstrak dan tidak ada artinya bagi anak. Begitu juga dengan, "Jangan bikin ibu marah, ya!" Sementara anak tidak tahu apa saja yang membuat ibunya marah. Tetapi katakan bahwa ibu ingin kalian hanya ingin bermain di halaman.
4. Selalu memberikan alasan yang baik dan masuk akal
Hindari pernyataan yang berisikan kata "pokoknya" kecuali hal-hal yang bersifat darurat. Untuk situasi darurat, penjelasan diberikan belakangan.
Penjelasan memberikan anak ruang untuk berpikir sendiri sehingga lain waktu anak dapat menerapkan hal yang sama dengan pengalaman yang lalu. Misalnya, "Umair, taruh kembali palu itu ditempatnya!" Maka Umair akan bertanya-tanya mengapa? Apakah palu itu kotor? Berbahaya? Mudah pecah? Atau apa? Jika kita menjelaskan bahwa palu itu milik tukang yang sedang memperbaiki tukang yang sedang memperbaiki jendela, maka anak lain kali akan melakukan hal yang sama (mengembalikan barang yang bukan miliknya).
Hindari pernyataan yang berisikan kata "pokoknya" kecuali hal-hal yang bersifat darurat. Untuk situasi darurat, penjelasan diberikan belakangan.
Penjelasan memberikan anak ruang untuk berpikir sendiri sehingga lain waktu anak dapat menerapkan hal yang sama dengan pengalaman yang lalu. Misalnya, "Umair, taruh kembali palu itu ditempatnya!" Maka Umair akan bertanya-tanya mengapa? Apakah palu itu kotor? Berbahaya? Mudah pecah? Atau apa? Jika kita menjelaskan bahwa palu itu milik tukang yang sedang memperbaiki tukang yang sedang memperbaiki jendela, maka anak lain kali akan melakukan hal yang sama (mengembalikan barang yang bukan miliknya).
5. Berikan kepercayaan kepada anak
Anak tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika terus-menerus diawasi dengan ketat. Ada saat-saat tertentu kita harus membiarkan anak berusaha mandiri. Misalnya, biarkan anak bergaul dengan lingkungannya tanpa kita terus-menerus mengingatkan ia untuk tidak lupa mengucapkan salam, terima kasih, maaf dan sebagainya. Biarkan anak berani menyapa bertamu sendirian, cukup awasi dari jauh. Tindakan ini akan memberikan ruang untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak dan memberikan kesempatan agar anak bertanggung jawab terhadap segala tindakanny
Anak tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika terus-menerus diawasi dengan ketat. Ada saat-saat tertentu kita harus membiarkan anak berusaha mandiri. Misalnya, biarkan anak bergaul dengan lingkungannya tanpa kita terus-menerus mengingatkan ia untuk tidak lupa mengucapkan salam, terima kasih, maaf dan sebagainya. Biarkan anak berani menyapa bertamu sendirian, cukup awasi dari jauh. Tindakan ini akan memberikan ruang untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak dan memberikan kesempatan agar anak bertanggung jawab terhadap segala tindakanny
Tidak ada komentar:
Posting Komentar