Jumat, 15 Februari 2013

10 KESALAHAN KOMUNIKASI DENGAN ANAK



Beberapa tahun yang lalu, kita sempat dikejutkan oleh kasus anak 5,9 tahun yang gantung diri karena dimarahi ayahnya malam hari sebelum tragedi itu terjadi. Padahal sebelumnya, ia habis dimarahi ibunya karena tidak mau mandi sore. Keesokan paginya, ia ditemukan gantung diri dengan tali melilit lehernya di sebuah rumah kosong. Anak tersebut bernama Renaldi Sembiring. Ayahnya adalah seorang pengacara di Semarang (ada juga yang bilang hakim). Ini hanya 1 kasus dari puluhan kasus bunuh diri anak akibat orang tua tidak memahami perkembangan jiwa anak dan mengabaikan perasaan mereka ketika berkomunikasi.
Na'udzubillahimindzalik.

10 kekeliruan dalam berkomunikasi yaitu:

 Kekeliruan#1. Bicara tergesa-gesa.
 Pemandangan yang lazim di pagi hari ketika ibu berteriak kepada anaknya:
 "Cepaattttt...!! Sudah jam berapa ini ayo mandi siapin baju jangan lupa buku-bukunya masukin ke tas langsung sarapan tuh sepatu dan kaos kakinya di belakang pintu buruan keburu mobil jemputan dateng pokoknya kalo ketinggalan jemputan Mama gak mau nganter!"
 Walah, paleng'e... Butuh konsentrasi tinggi untuk menangkap puluhan kata yang diteriakkan bagai laju kereta api itu. Apakah anak mendengarkan? Bagaimana responnya? Paling ia berjalan gontai ke kamar mandi seperti tidak terjadi  apa-apa. Karena sudah terbiasa dengan kicauan itu setiap hari.
Lantas, apa gunanya teriak-teriak gak jelas seperti itu? Bagi orang tua:
 - Menghabiskan energi
 - Dongkol
 - Makin emosi
Bagi anak:
 - Makin sebel sama orang tua
 - Gak ngaruh dibegitukan, sudah biasa.
Solusinya?
Tidak tergesa-gesa ketika bicara, atur kalimat, jangan emosi sehingga lawan bicara mengerti apa yang kita komunikasikan.

Kekeliruan#2. Tidak kenal diri sendiri.

Mari kita uji coba. Sebutkan 3 keunikan Anda yang berbeda dari orang lain. Entah itu kebiasaan, hobby, warna kesukaan. Waktunya 1 menit!
Apakah Anda kesulitan menemukan keunikan Anda? Ya, kebanyakan peserta seminar memang bingung. Alasannya: tergesa-gesa, keburu waktu, panik. Namun alasan sesungguhnya adalah: Anda tidak mengenal diri Anda sendiri. Bukankah kalau kenal- bisa reflek menyebutkan keunikan diri sendiri?
Lantas, apakah kita sudah mengenal keunikan pasangan hidup kita? Anak kita?  Disinilah pentingnya mengenali lawan bicara ketika sebelum berkomunikasi. Adakalanya suami begitu angkuh dan cuek ketika istri nangis bombay saat berantem. Bisa jadi karena waktu kecil, sang suami dididik ayahnya kalau :
laki-laki gak boleh nangis!. Besarnya pun ia akan anti nangis, malah tidak suka melihat orang nangis. Atau istri begitu sensitif karena sering diremehkan oleh orang tuanya.
Atau anak kita :
Usia 5 tahun, ketika disuruh: "Sayang, buangin sampah, dong, ketempatnya!". Sang anak pasti dengan senang hati melakukannya.
Usia 7 tahun, ketika disuruh hal yang sama, responnya : "Ntar!" atau "Kok, gak mamah aja?"
Usia 10 tahun, responnya : "Capek!" alias menolak untuk diperintah.
Ternyata, cara bicara orang tua yang itu-itu saja tidak membuat anak makin pintar atau nurut. Anak jenuh dan bosan dari kecil diperlakukan seperti itu.  Itulah mengapa orang tua harus kenal, tanggap dan menggunakan bahasa komunikasi yang berbeda sesuai perkembangan jiwa dan pertambahan umur anak.
Solusinya?
Kenali lawan bicara kita.

Kekeliruan#3. Lupa : setiap individu U N I K.

Dari jutaan sperma yang menghampiri sel telur, hanya 1 sperma yang paling unggul, paling kuat, dan paling berkualitas yang mampu menembus ke dalam sel telur dan membuahinya. Baik sel sperma maupun sel telur turut bertanggungjawab menghasilkan zigot yang terlahir sebagai bayi mungil untuk orang tuanya. Tapi kenapa kebanyakan suami selalu membebankan pengasuhan dan pendidikan anak kepada istri? Bukankah anak itu hasil dari suami istri berdua?
Kemudian, betapa banyak orang tua yang kesulitan memiliki anak, bersedia mengeluarkan uang ratusan juta rupiah dan melakukan pengorbanan besar agar ada suara tangis bayi di rumahnya.  Tetapi, mengapa orang tua yang dimudahkan Allah untuk memiliki keturunan tidak mensyukuri hal ini?
idak jarang ketika orang tua greget melihat kenakalan anaknya lantas berkata,"Iiiiiiiiihh..!! Sebenarnya kamu anak siapa, siihhh!!!"
Jika terus menerus dibegitukan, lama-lama anak akan bertanya, "Iya, yah, aku ini anak siapa, sih?"
kembali, bahwa anak terlahir, apapun keadaannya, kekurangan dan kelebihannya,  itu atas kuasa Allah Azza wa Jalla semata. Ada anak yang terlahir normal, mewarisi kecerdasan, dan kelincahan. Ada pula yang terlahir dengan kekurangan  seperti: dislexia (kesulitan membaca), disgrafia (kesulitan menulis) dan diskalkulia (kesulitan berhitung). Semua itu adalah keunikan anak yang harus dihargai, disyukuri. Tentunya orangtua tidak bisa memaksa anak yang dislexia untuk cepat membaca, anak diisgrafia untuk menulis indah, dan seterusnya.
Perlakukan anak sesuai keadaan dan keunikannya.
Solusinya?
Setiap individu berbeda. Perlakukan ia sebagai pribadi yang unik.

Kekeliruan#4. Perbedaan Needs and Wants (Kebutuhan dan keinginan)

Anak menyukai design grafis, tapi orang tua ingin anaknya jadi dokter. Jelas dua kebutuhan dan keinginan yang berbeda ini menjadi pemicu salah paham dan ketidakharmonisan. Orang tua tidak punya banyak waktu untuk mempertimbangkan  keinginan anak. Orang tua mengabaikan kebutuhan anak. Akhirnya berujung pada pemaksaan kehendak dari orang tua kepada anaknya. Adu urat syaraf sudah menjadi skenario sehari-hari.Padahal yang menjalani hidup adalah anaknya, bukan orang tuanya. Yang kenal kemampuan diri sendiri adalah anak, bukan orang lain.
Ada pula orang tua yang sibuk bekerja dan memberikan apapun kebutuhan materi yang diperlukan anak. Padahal anak membutuhkan kasih sayang orang tuanya. Tapi orang tua merasa sudah mencukupi keinginan dan kebutuhan anak. Maka hancurlah hubungan. Satu sama lain tidak nyambung. Anak butuh A, orang tua ngasih Z.Â
Solusinya?
Sadari dan pahami bahwa keinginan dan kebutuhan tiap individu itu BERBEDA!

Kekeliruan#5. Tidak membaca bahasa tubuh

Ketika anak memecahkan gelas, otomatis sang ibu berteriak dan memarahi. Tak  jarang juga yang main fisik dengan memukul atau mencubit.  Seandainya ada rekaman video ketika anak menyenggol gelas dan memecahkannya, perhatikan ekspresinya. Mulutnya menganga, sekujur tubuhnya tegang tak berkutik, kedua tangannya kaku, ekspresinya menunjukkan kekhawatiran, rasa penyesalan dan ketakutan kalau dimarahi. Jika sang ibu membaca bahasa tubuh anak, masihkah tega untuk memarahinya? Anak sudah ketakutan, masih ditambah dengan dimarahi dan dipukul. Begitu berhargakah sebuah gelas dibandingkan perkembangan jiwa anak?
Solusinya?
Lidah bisa berbohong, tapi bahasa tubuh tidak. Baca bahasa tubuh.

Kekeliruan#6. Tidak mendengar perasaan.

Bayangkan anak Anda <atau suami Anda:ed>, pulang sekolah, kehujanan, membawa ransel berat di punggungnya, pulang ke rumah dengan sepatu belepotan  lumpur. Ia masuk dengan wajah cemberut, melepas sepatu yang penuh lumpur dengan  menendangnya, dan melempar tas ke mana saja. Padahal Anda sudah susah payah menyapu, mengepel dan membereskan rumah.
Apa yang Anda lakukan?
"Hei, apa-apaan kamu! Masuk gak salam, sepatu dilempar sembarangan, lantai  jadi kotor, tuh! Ayok beresin! Taruh yang bener!"
Sebagai anak, apa yang akan dilakukan? Sudah pasti langsung masuk kamar dan  menguncinya. Males ngomong dengan ibunya. Kita ulang lagi kejadian di atas. Ketika anak melempar sepatu dan tasnya,  perhatikan ekspresinya. Ya! Ia lelah, capek, lapar, pusing.
Ketika Anda mengenali perasaannya, dan berkata, "Wah, anak ibu sudah pulang. Capek, ya?"
Kira-kira, apa respon anak?
"Ngga!" sambil manyun. Setidaknya ia mau ngomong.
Jangan menyerah, coba kenali perasaan yang lain dan jangan takut salah. "Oh, pasti laper?"
Jawab anak, "Ngga!"
Ibu : "Lagi kesal?"
Anak : "Iya! Tadi PR aku ketinggalan di rumah. Aku disetrap Pak Guru. Eh, si Riko ngetawain aku di bangkunya. Pulang sekolah aku mau jajan, laper, tapi uangku hilang. Terus si Riko dan teman-temannya menjegal kakiku sampai aku jatuh. Aku kesakitan, tapi aku paksa aja karena mau pulang. Uuhh, di tengah jalan malah hujan. Mana becek lagi!"
Wow, ternyata masalah yang dihadapi anak begitu bertubi-tubi. Perasaan dia sedang marah, kesal, dongkol dan capek. Masihkah tega memarahinya?
Dari dua kejadian di atas, manakah komunikasi yang baik?
Solusinya?
Dengarkanlah perasaan. Tandai pesan dari gelagat dan bahasa tubuhnya. Jangkau perasan lawan bicara. Buka komunikasi dengan menamai perasaan lawan bicara, misal: Capek, ya? Marah? Wah, kesal, dong?.
Jangan takut salah, karena lawan bicara akan dengan senang hati membetulkan. O,ya, kalau ibu merespon dengan kata, "Duh, kasihan anak ibu." Itu tidak tepat. Karena kasihan itu adalah perasaan ibu. Bukan perasaan anak. Dengan menyebut seperti itu, sama saja dengan menghentikan curhatan anak. Konsentrasilah pada perasaan anak. Biarkan emosi dan permasalahannya keluar sehingga ia tenang.

Kekeliruan#7. Menggunakan 12 gaya populer.

 a. Memerintah.
 b. Menyalahkan
 c. Meremehkan
 d. Membandingkan
 e. Mencap/label
 f. Menasehati
 h. Membohongi
 i. Menghibur
 j. Mengritik
 k. Menyindir
 l. Menganalisa.
 (Catatan penulis: yang dimaksud memerintah, menasihati dan menghibur di atas adalah ketika dilakukan dengan cara yang salah)
 -Memerintah :
 "Eh.. eh.. eh... jangan lewat situuu...!! ntar jatuuhhh..!!!"
 Tapi anak makin penasaran, malah tambah ngebut main sepedanya. Akhirnya si anak beneran jatuh dan nangis sekencang-kencangnya.
 -Menyalahkan
 "Naaahh...kaann!! Jatuh juga! Mama bilang apa tadi? Kamu sih dikasih tau gak mau denger!" (Ya, iya, tau. Abisnya Mama gak bilang di situ ada lobang. Kalau bilang ada
 lobang kan, saya gak akan lewat situ!")
 - Meremehkan
 "Halaaah, luka kecil aja nangis!"
 Anak meringis kesakitan, sambil megangin lututnya yang lecet dan berdarah. Kagetnya juga belum hilang.
(Luka segede ini masak dibilang kecil? Jadi luka gede itu seperti apa, yak?)
 - Membandingkan
 Anak dibawa ke dalam rumah. Di sana ada papanya. Kata papa, "Kemarin temen
 kamu, si Difta, jatuh dari sepeda gak nangis, tuh!"
 (Beeu... dia ya dia, gue ya gue!)
 - Mencap/ label
 Kata papa lagi, "Jangan cengeng, ah! Anak papah gak ada yang cengeng!"
 (Ini nahan sakit bukan cengeng, plus sebel! Lagi sakit bukannya dihibur!)
 - Mengancam
 "Kalau masih nangis gak dibeliin mainan lagi, lho!"
 (Ya, elaaahh....ditambah ngancem lagi, sebeeellll bin benciiiii!!)
 - Menasihati
 "Lain kali, kalau mama ngomong itu didenger yah!"
 (iya, iya udah tauuuuuuuuuuuuuukkkkkkkkkkkkkk!!)
 - Membohongi & Menghibur
 "Ah, luka cemen gitu mah besok juga sembuh!"
 Keesokan harinya, ketika mandi pagi, lukanya terkena air dan terasa perih.
 Pikir anak: "Sakiiit, kata mama papa lukanya sembuh besok, ini kan udah besok, kok  belum sembuh?" --> anak bingung. Ia tahu kalau papa mamanya berbohong.
"Berarti bohong itu boleh, kan papa mama udah bohongin aku." Si anak belajar bohong langsung dari orang tuanya sendiri.
 -Mengritik
 "Kamu tuh kalau dibilangin suka ngeyel, gak mau denger! Tau rasa kan akibatnya!"
 (Isi sendiri deh, gimana perasaan anak kalau dibegitukan, hehehe)
 - Menyindir
 "Biasanya, kalau anak bandel itu suka sial nasibnya. Jatuuhh melulu!"
 (..............)
 - Menganalisa
 "Kalau seorang anak tidak mendengar nasihat ibunya, sudah pasti kualat tuh. Papa yakin kamu denger peringatan mama, tapi kamu langgar, kan? Mangkanya kamu jatuh. Itu peringatan buat kamu supaya lain kali jangan diulangi lagi!"
 (Zzzzzzzzzzzzz)
Akibat menggunakan 12 gaya populer tidak pada tempat dan porsinya alias
sekenanya:
- Anak tidak percaya pada perasaannya sendiri. "Kata saya sakit, tapi kata mama, segini itu gak sakit."
-  Tidak percaya pada diri sendiri.
Solusinya?
 <kita harus belajar memperbaiki pola pikir kita thd lawan bicara, meningkatkan kemampuan berkomunikasi :ed>

Kekeliruan#8. Tidak memisahkan: Masalah Siapa?

Ketika anak pulang sekolah, ia baru sadar kalau tugas prakaryanya yang belum selesai ketinggalan di rumah temannya. "Ibu,...tugasku ketinggalan di rumah temen. Padahal besok harus dikumpulin. Kalau belum selesai dan gak  dikumpulin, ntar aku dihukum bu guru. Anterin, dong, bu...!"
Sebagai orang tua tentu tidak tega melihat anaknya susah. Pilihannya dua, membantu atau membiarkan. Salah memilih tindakan, akan berakibat fatal bagi perkembangan anak. Tapi, sebagai orang tua harus bisa memisahkan masalah siapa. Prakarya ketinggalan di rumah teman adalah masalah yang ditimbulkan anak. Bukan masalah orang tua. Ajarkan anak untuk menyelesaikan masalahnya. Apapun pilihan anak,pasti ada konsekuensinya.
Jika orang tua berhasil dalam tahap ini, maka anak terbiasa untuk berpikir, memilih dan mengambil keputusan. Anak pun akan menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab.
 Solusinya?
<Pikirkan bahwa>Anak perlu BBM : Berfikir - Memilih - Mengambil Keputusan.

Kekeliruan#9. Kurang mendengar aktif.

Betapa banyaknya orang tua yang sok tahu permasalahan anak padahal dia tidak  tahu apapun. Ketika anak mendapat nilai jelek, kesimpulan orang tua :malas belajar. Padahal ia sedang bermasalah dengan kesehatan matanya, temannya atau cara pengajaran gurunya.
Orang tua tidak punya waktu untuk mendengarkan permasalahan anak. Tidak heran banyak anak yang tidak patuh pada orang tua sendiri tapi nurut pada guru (yang baik) atau orang lain. Hal itu dikarenakan orang tua tidak menempatkan diri sebagaiproblem solving tapi malah nambah problem anak.
 Jadilah cermin untuk menjadi pendengar aktif.
 - "oo.. begitu?"
 - "Hmm... masya Allah.."
 - "... terus?"
 - "Sedih bener, dong?"
 - "Kecewa, ya?"
 - "... hmm, mangkanya kamu marah betul..."
 Solusinya?
Menjadi pendengar aktif akan membuka komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan lawan bicara.

Kekeliruan#10. Selalu menunjuk, "kamu!"

"Kamu, tuh, ya, jadi anak bla bla bla...!"
 "Kamu, kok, begitu? bla bla bla..!"
 Lawan bicara akan tersudutkan dan reflek untuk membela diri sehingga terjadilah cekcok.
 Solusinya?
Seharusnya:
Sampaikan pesan S A Y A:
 "Saya....... (sampaikan perasaan Anda).......kalau ......... karena...........
 Contoh:
 "Papa tidak suka kalau kamu pulang malam karena berbahaya untuk kesehatanmu."

 
---------------- THE END ------------------

 Note : Catatan ini bukan antara orang tua dengan anak saja, tapi bisa juga
direfleksikan kepada suami/istri atau siapapun lawan bicara kita.
 Semoga bermanfaat ^^
Sumber : 10 Kekeliruan Dalam Komunikasi dengan Anak | bidanku.com http://bidanku.com/index.php?/10-kekeliruan-dalam-komunikasi-dengan-anak#ixzz2KBPuVidJ

MELATIH ANAK DISIPLIN



Disiplin dalam keluarga sebenarnya adalah pendidikan. Mendisiplinkan anak tidak identik dengan menghukum atau mengatur, namun lebih pada mengajarkan dan mendidik anak untuk berperilaku dan menerapkan nilai-nilai moral.

          Sebagai bagian dari pendidikan dalam disiplin, masalah keteladanan sangat penting. Anak akan meniru apa yang dilakukan orang tua. Disiplin yang efektif menghemat kata-kata dan energi. Tanpa teriakan, nada tinggi, pukulan dan cubitan.
         Begitu pula sejak balita, anak-anak tidak akan mengerti jika hanya disodorkan peraturan. Tidak boleh ini-itu, harus begini-begitu. Maka yang terjadi bahwa peraturan tinggal peraturan. Tidak pernah dipatuhi. Kuncinya adalah dengan menunjukkan kepada anak bagaimana ia harus berperilaku. Memberi contoh nyata.
        Beberapa hal yang perlu dilakukan orang tua adalah : 

1. Memastikan bahwa perbuatan baik mendapatkan hadiah sedangkan perbuatan buruk tidak mendapat apa-apa.
Kedengarannya mudah dan biasa. Kita sering kali merasa malu dan terganggu ketika anak merengek-rengek meminta permen saat kita belanja. Dengan terpaksa kita mengabulkan permintaan anak. Padahal dari peristiwa ini anak belajar bahwa jika ia merengek pada saat berbelanja maka ia akan mendapatkan hadiah, sementara jika ia bertingkah manis ia tidak mendapat apa-apa. Begitu juga saat anak melakukan atau mengatakan sesuatu hal yang buruk. Para orang dewasa malah menjadikan anak sebagai pusat perhatian dan hiburan. Sehingga anak merasa bahwa jika ia melakukan hal yang sama maka ia akan merebut perhatian orang dewasa.

2. Berhemat dengan kata larangan
Jangan terlalu banyak menggunakan kata "tidak" dan "jangan". Berhematlah dengan kata "tidak" dan "jangan". 


Usahakan agar kata ini hanya digunakan untuk hal-hal yang penting, darurat, dan tidak boleh ditafsirkan lain. Pada dasarnya anak menyukai aktifitas. Anak-anak tidak suka dan tidak bisa diam. Anak akan merasa lebih tertantang dengan kalimat "Coba, Ibu ingin lihat, Umair bisa nggak memarkir sepeda di samping motor ayah?" dibandingkan dengan "Umair, jangan memarkir sepedamu sembarangan, dong!" Umair tidak suka dilarang melakukan sesuatu dan tidak mengerti maksud dengan "parkir sembarangan". Gunakan kata tidak dan jangan untuk misalnya, "Umair tidak boleh main pisau, ya!"

3. Jelas
Jangan memberikan aturan yang abstrak dan tidak dimengerti anak. Kalimat, "Jangan nakal!" terdengar sangat abstrak dan tidak ada artinya bagi anak. Begitu juga dengan, "Jangan bikin ibu marah, ya!" Sementara anak tidak tahu apa saja yang membuat ibunya marah. Tetapi katakan bahwa ibu ingin kalian hanya ingin bermain di halaman.

4.  Selalu memberikan alasan yang baik dan masuk akal

Hindari pernyataan yang berisikan kata "pokoknya" kecuali hal-hal yang bersifat darurat. Untuk situasi darurat, penjelasan diberikan belakangan.
Penjelasan memberikan anak ruang untuk berpikir sendiri sehingga lain waktu anak dapat menerapkan hal yang sama dengan pengalaman yang lalu. Misalnya, "Umair, taruh kembali palu itu ditempatnya!" Maka Umair akan bertanya-tanya mengapa? Apakah palu itu kotor? Berbahaya? Mudah pecah? Atau apa? Jika kita menjelaskan bahwa palu itu milik tukang yang sedang memperbaiki tukang yang sedang memperbaiki jendela, maka anak lain kali akan melakukan hal yang sama (mengembalikan barang yang bukan miliknya).

5. Berikan kepercayaan kepada anak
Anak tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika terus-menerus diawasi dengan ketat. Ada saat-saat tertentu kita harus membiarkan anak berusaha mandiri. Misalnya, biarkan anak bergaul dengan lingkungannya tanpa kita terus-menerus mengingatkan ia untuk tidak lupa mengucapkan salam, terima kasih, maaf dan sebagainya. Biarkan anak berani menyapa bertamu sendirian, cukup awasi dari jauh. Tindakan ini akan memberikan ruang untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak dan memberikan kesempatan agar anak bertanggung jawab terhadap segala tindakanny



Sabtu, 15 Oktober 2011

MENUMBUHKAN MINAT BELAJAR ANAK

-->
                                                                 

      Sebagai seorang ibu kadang rasanya suka cemas,panik dan bahkan malu ketika anak kita agak berbeda dengan anak-anak teman yang lain, terutama di kala teman kita  dengan bangganya menceritakan kemampuan baru yang dikuasai anaknya, sedangkan anak kita rasanya lambat benar perkembangannya.
          Hal ini tanpa disadari kadang menyebabkan ibu memaksa anak belajar agar  memiliki kemampuan yang sama dengan anak lain.tanpa memperhatikan metode pengajaran yang di gunakan dan tanpa mempertimbangkan    bahwa setiap anak berbeda dan perbedaan tersebut merupakan hal yang wajar saja (setiap anak  unik dan memiliki tingkat kemampuan yang berbeda dalam menguasai sesuatu)
       Dampaknya Ketika anak merasa cara kita mengajari mereka belajar tidak menyenangkan, biasanya anak akan menganggap bahwa belajar adalah hal yang tidak menarik dan membosankan.
         Usia balita memang masa bermain, jadi biarkanlah jika ia lebih banyak ingin bermain. Sekarang tinggal bagaimana kita bisa masuk dalam dunia bermainnya itu sambil memberinya pelajaran dan inilah yang disebut dengan "bermain bermakna". Dengan permainan anak bisa belajar dan menguasai sesuatu. Misalnya dalam mengajarkan anak membaca atau mengenali huruf, ibu bisa  kreatif sendiri membuat kartu yang berisi gambar binatang dengan tulisan di bawahnya,dan metode mengajarnya di sesuaikan dengan jenis permainan yang disenangi anak.
, untuk anak yang hobi panjat memanjat atau lari- lari  bisa kita ajak belajar  dengan lomba lari mengambil kartu. Bahkan anak yang sedang bermain boneka, dakon, atau sedang makan Sekalipun bisa kita ajak belajar, tergantung kreatifitas ibua
-->.
              Selain itu perhatikan juga keluhan anak, ketika anak bilang capek, mungkin itu menunjukkan bahwa anak tak menikmati belajarnya. Maka orang tua perlu merubah suasana belajarnya (tempat atau metodenya ) sehingga anak akan merasa enjoy belajar.
           Intinya , tumbuhkanlah kemampuan  anak  sealamiah mungkin dan tanpa paksaan.dan jangan lengah, dengan dalih bahwa kemampuan anak berbeda akhirnya kita menyerah dan membiarkan anak kita tidak belajar ketika sulit untuk diajak belajar.harusnya kondisi anak kita yang sulit ini memotivasi orang tua untuk menemukan trik-trik baru yang menyenangkan dalam mengajari mereka.
            Jika anak merasa "enjoy" (menikmati belajar sambil bermain), maka kedepan ia akan memiliki ketertarikan belajar dan akhirnya kebiasaan belajar yang kita lakukan bersama anak akan membentuk budaya belajar sehingga ketika besar nanti anak akan belajar dengan sendirinya tanpa kita suruh belajar 

Sabtu, 01 Oktober 2011

mutiara di balik sekolah alam


…..Sambil bermain anak belajar dan bersama alam anak belajar 
            Dunia anak adalah dunia bermain, Walaupun kelihatannya mereka sedang  bermain (outbond, bercocok tanam, beternak, mencuci baju bahkan berwirausaha( Pasaran))tapi sebenarnya mereka sedang belajar, bukan sekedar belajar teoritis. Ada banyak hal /aspek yang bisa mereka pelajari.  misalnya dari kegiatan bertanam padi mereka bisa belajar  matematika( menghitung jumlah biji padi), IPA (mengamati proses pertumbuhan padi daan perubahan bentuk), Bahasa (melatih anak  menceritakan  proses ) agama ( mengakui keagungan sang pencipta dan akhirnya mereka akan menghargai nasi, karena ternyata untuk mendapatkan sebutir nasi butuh proses perjuangan yang panjang.
          jadi Belajar di alam terbuka, secara naluriah akan menimbulkan suasana 'fun', tanpa tekanan dan jauh dari kebosanan. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran pada anak bahwa 'learning is fun' dan sekolah identik dengan kegembiraan , sehingga harapannya tujuan pendidikan untuk membantu anak didik tumbuh menjadi manusia yang berkarakter yaitu  manusia yang tidak saja mampu memanfaatkan apa yang tersedia di alam, tapi juga mampu mencintai dan memelihara alam lingkungannya akan tercapai.

“Alam”  Dalam konsep pendidikan Sekolah Alam mempunyai  3 fungsi antara lain :
• Alam sebagai ruang belajar
Alam sebagai media dan bahan ajar
• Alam sebagai objek pembelajaran
Sehingga  akan terbentuk kecerdasan naturalis, menjadikan  pribadi yang kreatif dalam memanfaatkan lingkunan sekitar
Adapun konsep pembelajaran sekolah alam memadukan antara  kurikulum depdiknas, dan kurikulum khas sekolah alam.
 Sehingga materi yang diberikan di sekolah alam pada dasarnya sama dengan sekolah biasa, namun metode penyampaiannya saja yang berbeda yaitu  menggunakan sistem spider web
  Proses pembelajaran Sekolah Alam menyandarkan pada 4 (empat) pilar
1. Pengembangan akhlak yang baik (akhlaqul Karimah)
2. Pengembangan logika dan daya cipta melalui percobaan (Expreriental Learning)
3. Pengembangan kepemimpinan dengan metode Outbond Training
4. Pengembangan kemampuan berwirausaha (Entrepreneurship)